Hatutan.com, (05 Desember 2025), Atambua– Situasi mencekam terjadi di Halifehan, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, jelang eksekusi lahan oleh pihak pengadilan Negeri Atambua di Jalan Marsda Adi Sucipto, Kelurahan Tulamalae, Jumat (05/12/2025).
Warga yang menolak memblokade jalan dengan membakar ban ditengah jalan dan melempari aparat dengan batu di kota Atambua, Jumat (05/12/2025). Foto/Hatutan.com
Warga yang menolak memblokade jalan dengan membakar ban ditengah jalan dan melempari aparat dengan batu. Masyarakat di imbau menghindari jalur tersebut karena proses eksekusi lahan yang memicu ketegangan antara aparat dan warga yang menolak pengosongan tempat.
Eksekusi lahan di sepanjang Jalan Marsda Adi Sucipto (cabang Sentral menuju Perpustakaan), serta rumah-rumah di Jalan Lilin II samping pekuburan Katolik menuju perempatan SDK Tenubot, yang dihuni oleh 34 kepala keluarga (KK) dengan sekitar 205 jiwa menempati area seluas 19.000 m² yang menjadi objek sengketa.
Laporan kontributor Hatutan.com dari kota Atambua bahwa aksi warga yang menolak eksekusi mengklaim tidak menerima dua surat pemberitahuan sebelum pelaksanaan. Penolakan tersebut memicu aksi blokade jalan, pembakaran ban, peledakan petasan, serta terlihatnya warga yang memegang tongkat dan kayu.
Advertisement
Aparat gabungan dari Polres Belu, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Satpol PP, dan Brimob sudah bersiaga. Sejumlah alat berat sudah dikerahkan dan berada di titik eksekusi menunggu instruksi pelaksanaan, namun kedatangan aparat dan alat berat ini dihalau oleh para warga hingga berujung ricuh.
Latar Belakang Sengketa Tanah
12 tahun proses hukum tanpa henti sengketa dua bidang tanah di Halifehan dan Tulamalae antara Damianus Maximus Mela (Maxi Mela) sebagai pemohon dan para termohon telah berlangsung sejak 2013 hingga 2025.
Putusan Pengadilan dari Tingkat ke Tingkat
Tahun 2013, Maxi Mela menggugat ahli waris dan kepemilikan tanah. Gugatan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Atambua (18/Pdt.G/2013/PN.Atb).
Advertisement
Ricuh di Kota Atambua jelang eksekusi tanah, Jumat (05/12/2025). Foto/Hatutan.com
Tahun 2014 para tergugat banding, Pengadilan Tinggi Kupang menyatakan gugatan Maxi Mela Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) karena cacat formil.
Tahun 2015 Kasasi diajukan Maxi Mela, MA menguatkan putusan PT Kupang (gugatan tidak diterima).
Tahun 2016 Maxi mengajukan gugatan baru (36/Pdt.G/2016/PN.Atb) dan kembali menang dengan empat poin putusan, termasuk perintah mengosongkan tanah.
Pada tahun 2017–2018 banding dan kasasi para tergugat ditolak. Putusan Pengadilan Negeri Atambua tetap berlaku dan eksekusi diperintahkan.
Tahun 2020 para tergugat mengajukan Peninjauan Kembali (PK 815 PK/Pdt/2020), namun ditolak MA.
Pada tahun 2019–2023 Gugatan balik Martha Olo sempat dikabulkan Pengadilan Tinggi, tetapi dibatalkan Majelis Agung melalui kasasi (64 K/Pdt/2023). Maxi Mela kembali dipastikan sebagai ahli waris sah.
Advertisement
Dengan demikian, berdasarkan seluruh putusan pengadilan dari Pengadilan Negeri hingga Mahakamah Agung, Damianus Maximus Mela dinyatakan sebagai ahli waris sah dari Maria Magdalena Rusmina dan Camillus Mau, serta berhak atas lahan di Halifehan dan Tulamalae.
Asal Usul Hak Waris Maxi Mela
Berdasarkan keterangan saksi adat dan dokumen persidangan bahwa Maxi Mela diasuh sejak bayi oleh Maria Magdalena Rusmina dengan mekanisme adat GOLGALIKA (pengangkatan anak sah secara adat Lamaknen).
Seluruh dokumen dan sertifikat tanah diserahkan kepada Maxi sebelum para pengasuhnya meninggal dunia.
Maxi pernah mencoba berdamai dan menawarkan solusi tinggal bersama tanpa saling klaim, namun ditolak sebagian warga. ***