Connect with us

Opiniaun

WASPADA TERHADAP BANDIT DEMOKRASI

Published

on

Oleh: Ben Senang Galus  

Suatu malam seorang mahasiswa berasal dari Timor Leste (TL) sedang kuliah strata dua di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta bertamu di rumah saya.   Pada malam itu banyak hal kami diskusikan, mulai dari isu ekonomi, pertanian, kebijakan negara sampai pda isu demokrasi.

Timor Leste kini telah mengalami proses demokratisasi yang sesungguhnya. Namun, jika proses demokratisasi ini tidak dipelihara dan dirawat dengan baik, bukan mustahil akan mengalami titik balik, be at a crossroads of safety or the steep road of democracy (berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan terjal demokrasi).

Bila proses demokratisasi ini tidak dapat dilalui dengan baik, ancaman yang dihadapi tidak saja proses disintegrasi sosial, akan tetapi berdampak terhadap perubahan sosial budaya pada kalangan kelompok masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau keretakan  social bond dalam masyarakat.

Advertisement

Gejala keretakkan social bond saat ini, sudah semakin kentara. Maasyarakat terbelah dalam tiga strata yaitu core society (masyarakat inti), middle society (masyarakat menengah), dan peripheral (marginal) society (masyarakat pinggirian).  Jika hal ini tidak diantisipasi dengan cerdas  akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling memercayai) di antara kelompok-kelompok social, terutama kepada pemerintah. Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi  ini,  tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all (belum omnium contra omnes), bukan lagi menjadi khayalan.

 Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan penghalalkan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain.

Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai srigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai” .

Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya.    Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.

Di TL, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam kekalutan, ketegangan, dan krisis berkepanjangan. Jika demikian TL akan mengalami tidak hanya political decay tapi lebih-lebih pada democratic decay dan social-economic decay, seperti yang pernah TL alami selama 32 tahun Orde Baru. Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional.

Advertisement

Ancaman Demokrasi

Akibatnya economic capital meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan social capital tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.     

Ancaman demokrasi di TL menurut pengamatan penulis, tidak hanya nampak pada ketidakadilan, ketidaksejahteraan masyarakat, etnonasionalisme atau etnodemokrasi, atau politik uang, akan tetapi hadirnya bandit-bandit demokrasi. Yang perlu diwaspadai saat ini maupun ke depan adalah hadirnya bandit-bandit demokrasi.      

Bandit-bandit demokrasi  hadir dalam dua wajah yaitu bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa represif, seorang bandit berkuasa, tapi dia bandit menetap. Artinya, dia tidak akan menguras wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya.

Setelah rezim represif  runtuh, muncullah bandit berkeliaran (roving bandits).Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjaga habis wilayahnya, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.

Advertisement

Begitu bandit menetap runtuh muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang “boss”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan boss, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apapun termasuk menjarah harta kekakayaan TL mulai dari pusat pemerintah sampai ke desa-desa. Mereka-mereka itu ialah para pelaku pejabat di pusat,  di daerah dan kroni-kroninya, termasuk bandit oligarki. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemeras harta kekayaan masyarakat. Rusaknya sistem demokrasi di TL selain munculnya para bandit demokrasi ditambah juga hadirnya “economic hit man” (ekonomi tangan kotor).

Ekonomi Tangan Kotor

Datangnya demokratisasi pascakemerdekaan TL memberi sumbangan signifikan bagi meluasnya bandit berkeliaran ini. Bila tesis ini benar, sebenarnya demokrasi tidak mempunyai masa depan di TL, bila bandit-bandit demokrasi terpelihara dengan baik. Meski saat ini TL sudah berdemokrasi, namun bukan demokrasi yang bertahta di sana melainkan bandit-bandit demokrasi dan munculnya ekonomi tangan kotor (economic hit man) sebagai yang bertahta.

Ekonomi TL terperosot karena korban permainan “economic hit man” atau yang diplesetkan ekonomi tangan kotor, yang dimainkan oleh invisible hand. Ini menjadi awas terhadap TL sebagai negara demokrasi. Lembaga ekonomi dunia seperti IMF dan Bank Dunia yang kelihatannya “baik, dermawan” malah menjadikan negara TL sebagai korban. Utang melumpuhkan negara TL itu sendiri. Ternyata banyak faktor yang terlibat di dalamnya.

IMF dan Bank Dunia, pekerjaannya mengidentifikasi negara yang memiliki sumber daya, bisa minyak, emas atau lainnya, kemudian pihaknya mengatur pinjaman kepada negara itu, tapi uang yang dipinjamkan tidak pernah sampai ke negara itu, melainkan kembali ke perusahaannya dalam bentuk pembangunan infrastruktur fisik dan infrastruktur  sosial yang malah menguntungkan para orang kaya maupun korporasinya sendiri. Akhirnya negara tersebut memiliki utang besar. Saya tidak mempunyai data yang valid hutang luar negeri TL. Meskipun bukan negara termiskin di dunia secara mutlak, TL memang menghadapi tantangan kemiskinan yang signifikan dan termasuk dalam daftar negara termiskin di Asia Tenggara. Itu semua karena permainan IMF dan Bank Dunia.

Advertisement

Bisa menjadi  benar jika menyimak ramalan Perkis (20202) dalam tulisannya yang mengatakan ” The debted state is a servant to the corporatocracy … today we have a global empire, and it is not an American kingdom. This is not a national kingdom … It’s a corporate empire, and big corporations are ruling. Once the country is in debt, it will return to the country with another mask of the IMF. The IMF makes demands for the owed state to increase taxes, reduce spending, sell public sector utilities to private companies, privatize state assets and essentially become slaves. The World Bank, the IMF and the European Union are only tools of big companies, what I call “corporatocracy”. After being unable to pay, finally lift the white flag, surrender”.

Banyak negara di dunia bangkrut, karena terjebak dalam pemikiran liciknya IMF dan Bank Dunia, membuat kamuflase dengan menyebut perekonomian negara target tumbuh baik. Hal itu yang dijual ke politisi-politisi atau pemerintah menjadi target IMF dan Bank Dunia, namun yang sebenarnya terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, akibatnya kesenjangan semakin meluas.

Negara-negara yang menjadi targetnya adalah negara -negara yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah ruah, termasuk TL.  Negara yang berutang akan mengadopsi kebijakan IMF dan Bank Dunia, seperti perusahaan utilitas milik publik, air, transportasi, minyak dan gas, kepada perusahaan-perusahaan besar.

Selanjutnya yang akan terjadi adalah privatisasi-privatisasi. Negara berhutang akan menjadi hamba korporatokrasi. Di dunia ini, sesungguhnya yang memerintah adalah kekaisaran global (baca IMF dan Bank Dunia). Perusahaan itu mengendalikan politik global, dan untuk tingkat besar mereka mengontrol banyak kebijakan negara-negara seperti China maupun seluruh dunia.

Korporatokrasi merujuk kepada sebuah kekaisaran global yang dibangun oleh tiga pilar yaitu korporasi, perbankan, dan pemerintahan. Berbagai korporasi besar, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksakan masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.

Advertisement

Lalu apakah dengan membaca ramalan Perkis dan melihat kondisi TL saat ini, akan menjadi kollapse State atau weak state? Kesimpulan: we are  quite concerned but there is no need to panic.

Selain resiko secara  filsafat bubarnya suatu  negara yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah kemungkinan seperti berikut ini. Dan mungkin ini yang paling dirasakan oleh masyarakat TL, seperti al: 1) Pasar saham akan crash 2) Semua lembaga keuangan akan gagal 3) Program pendanaan pemerintah akan berakhir sehingga tidak ada lagi jaminan bagi masyarakat, seperti kesehatan, pertahanan, keamanan, pendidikan, dukungan infrastrutur seperti jalan dan lainnya, termasuk infrastruktur sosial. Ketika sebuah negara bangkrut, maka banyak sistem di negara tersebut yang selama ini menjadi ketergantungan rakyatnya hilang. Seperti, penghentian pasokan listrik, aparat keamanan tak lagi bekerja,   toko-toko kehabisan stok makanan,   bank tutup dan lainnya. 4) Pelaku bisnis akan menutup usaha mereka sehingga tidak ada lagi pekerjaan, sehingga banyak PHK terhadap karyawannya. 5). Ekspor dan produksi sulit 6). Bisa terjadi kerusuhan massal sementara aparat keamanan tidak ada. 7) Pedagang kaki lima (PKL) digusur, tanpa solusi, 8) Setiap orang akan mulai saling melakukan segala cara untuk mendapatkan pasokan makanan (homo homini lupus). 9). Orang kaya akan menguasai negara dan mengubah sistem demokrasi menjadi kediktatoran. 10). Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu. 11). Hutang luar negeri yang semakin menumpuk.

Masyarakat Sipil  Harus Kuat

 Agar demokrasi TL semakin kuat harus didukung oleh masyarakat sipil (civil society/CS)   yang kuat pula, sebagai kekuatan moral (moral force), dan sekaligus menjadi katalisator perubahan sosial dan demokrasi. Tatkala demokrasi di persimpangan jalan keselamatan (at the safety crossroads safety) ditangan para bandit, CS segera mengambil alih. Civil society, bergerak pada manusia, sehingga demokrasi di TL berwajah kemanusiaan (democracy with humanity). Mengabaikan wajah kemanusiaan demokrasi berarti CS telah melakukan eutanasia demokrasi dengan berbagai senjata yang telah dihasilkan dari bangku kuliah.

Oleh karena itu sebagai peringatan terhadap CS TL termasuk generasi muda harus menjalankan dua kewibawaan: (1) Das rehnende denken: pemikirannya memperhitungkan—kehadirannya perlu diperhitungkan sebagai asset strategis, menguasai dengan alasan membuat kalkulasi politik, (2) Das andenkende denken, pemikirannya yang memperhatikan, kehadirannya mampu untuk berpikir, bersikap terbuka, perlu menjadi pribadi yang bebas dari mentalitas ikut arus.

Advertisement

Bagaimana CS di TL memposisikan dirinya dalam konfigurasi kebangsaan TL ke depan? CS memposisikan diri sebagai kekuatan nasional, kekuatan demokrasi, kekuatan mora,   katalisator perubahan, mengembangkan politik populis—option for the poor, nonmachiavelis, solidaritas universal, non diskriminasi, menjadi garda depan perjuangan demokrasi, menjadi reference group.

Untuk menjamin  posisi di atas, ada empat fokus perjuangan politik CS TL pada saat ini maupun ke depan dalam  menyelamatkan demokrasi dari tangan para bandit: 1) Pemberdayaan masyarakat sipil (civil society), 2) Penataan system politik yang bermoral, 3) Pembangunan kultur keterbukaan dan demokrasi.

Prinsip berpolitik CS hendaknya berpedoman pada prinsip moral, in principiis, unitas, in dubuiis, libertas, in omnibus, caritas (dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal terbuka kita bebas menentukan pendapat, dalam segala hal harus ada kasih). CS harus terlibat dalam kegiatan politik dalam rangka menempatkan diri sebagai noblesse oblige, sembari  berpegang pada prinsip moral kedua, Serviens in lumine veritatis, melayani dalam cahaya kebenaran (serving in the light of truth).       

Dengan cara demikian  CS menjalankan sebagian Academic Social Responsibilty.  Dan percayalah apapun yang Anda lakukan, Anda telah mewartakan prinsip moral ketiga ”Gloria Dei Vivens Homo, Irenius, Adversus Haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya). Sekali lagi  Vox civilem societatem Vox Dei (suara masyarakat sipil adalah suara Tuhan).   

Selamatkan demokrasi TL dari tangan para bandit-bandit demokrasi  dan jangan biarkan bandit demokrasi dan ekonomi tangan kotor meraja lela di TL.  

Advertisement

*) Pernah tinggal di Timor Leste 1989-1999. Menulis di Suara Timor Timur sejak 1992-1999. Saat ini sebagai penulis buku/esai dan dosen Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta.

 

 

 

 

Advertisement

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opiniaun

Diskursu Primeiru-Ministru Kay Rala Xanana Gusmão nian iha Okaziaun Aprezentasaun Proposta Lei Orsamentu Jerál Estadu ba 2026

Published

on

By

Parlamento Nacional, Díli 5 Novembro 2025

Suas Excelências

Senhora Presidente Parlamento Nacional       

Vice-Presidentes Parlamento Nacional

Advertisement

Ilustres

Senhoras no Senhores Deputados

Senhoras no Senhores Membros Governo

Senhoras no senhores,

(more…)

Advertisement

Continue Reading

Opiniaun

Sai Lian ASEAN nian: To’o Ona Tempu Mídia Nasionál Sira Ko’alia Timor-Leste Nia Kompromisu

Published

on

By

Hosi: Renato ”Apaa Sege’ da Costa

(more…)

Continue Reading

Opiniaun

Esteitmentu husi Institutu La’o Hamutuk Kona-ba Adezaun Timor-Leste ba Membru Plenu ASEAN Ba Dala-11

Published

on

By

Introdusaun

Simeira ASEAN ba dala 46 liu ba iha Kuala Lumpur, Primeiru Ministru Malázia deklara ba públiku katak, Timor-Leste nia adezaun ba ASEAN (full member) sei ofisializa iha Simeira ASEAN ba dala 47 iha fulan Outubru 2025. Tuir mai, Governu da sia organiza grupu traballu inter-ministerial nu’udar responsavel ba implementasaun rekomendasaun ne’ebé deside iha Simeira ASEAN 46 iha Malázia. Ekipa traballu ne’e enkontru no diskute halo ajustamentu ba lei no polítika balun tuir matadalan (roadmap) ne’ebé simu husi ASEAN. Governu komprimidu katak, antes Simeira iha fulan Outubru, preparasaun intermus polítika, lei balun, teknikamente no institusionalmente finaliza ona, liuliu akordu ekonomia prinsipál sira. Ambisaun boot ne’e ignora realidade katak Timor-Leste iha kapasidade ki’ik de’it atu prodús sasán ne’ebé bele fa’an iha ekonomia formál (ekonomia ne’ebé uza osan). Bainhira Timor-Leste adere ba ASEAN, bele redús soberania estadu atu proteje povu Timor-Leste husi dominasaun ekonómiku ASEAN.

(more…)

Continue Reading

Trending