Connect with us

Opiniaun

OTENSITAS KEBUDAYAAN TIMOR LESTE SEMAKIN RAPUH?

Published

on

Oleh Ben Senang Galus

Pengamat Masalah Timor Leste, Pernah tinggal di Timor Leste 1989-1999. Penulis buku,  Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta, Indonesia.

Saya mengikuti perkembangan Timor Leste (TL) hari ke hari dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Juga dari mahasiswa TL yang sedang kuliah di Yogyakarta. Mereka intensif diskusi dengan saya tentang dinamika sosial, politik, dan kebudayaan TL.  

Jika saya ditanya, bagaimana kondisi kebudayaan Timor Leste (TL) saat ini? Jawabannya tunggal: at  death’s door. Mengapa? Dahulu jati diri kebudayaan TL yang religius dan humanis serta  memiliki peradaban cukup tinggi di dunia, ternyata mencatat banyak peristiwa “penyimpangan”.  Seperti kita saksikan di layar televisi, di surat kabar, medsos yang menyuguhkan berita-berita, seperti tutur kata,  tingkah laku, etika, moral, perangai anak bangsa, yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan serta etika peradaban bangsa TL yang penuh sopan santun, harmonis, menghargai kemanusiaan. Dalam kondisi yang demikian “chaos” akan memunculkan    “kebudayaan baru ” yang disebut  “quasi culture”,   yang berdampak pada jati diri kebudayaan TL mengalami kerapuhan atau kehilangan identitas.

Advertisement

Demikian  rapuhnya kebudayaan TL, setidaknya berbagai sebab kemungkinan berikut ini. Pertama, munculnya  kesenjangan atau terputusnya hubungan antargenerasi budaya dapat membawa akibat runtuhnya peradaban perkembangan kebudayaan. Oleh karena itu kehidupan  saat ini dan ke depan  diperkirakan tidak mempunyai akar sejarah dengan peradaban masa lampau yang religius dan humanis.

Kedua, warga bangsa saat ini  semakin menipis perasaan kolektif  dan telah mengalami disharmoni.  Kurang menghargai musyawarah atau konsensus dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menyelesaikan masalah dengan mengabaikan dialog. Hal demikian   tidak sesuai dengan jati diri kebudayaan TL yang religius dan  humanis.  “Kekerasan” adalah semacam ideologi baru yang nota bene tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan yang secara sah memiliki monopoli atas perangkat kekerasan (organized violence), melainkan telah dilakukan pula oleh masyarakat kebanyakan.

Ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa proses dinamisasi dan peningkatan, kreativitas terjadi pula di kalangan masyarakat. Masyarakat  dihadapkan pada tantangan kehidupan sehari-hari yang serba sulit, sehingga mau tidak mau harus berusaha untuk survive, ditambah lagi suatu kemungkinan terjadinya involusi kebudayaan, yaitu kencendrungan sebagian masyarakat semakin eksklusif.

Keempat, dengan perubahan yang begitu cepat di seluruh lapisan kebudayaan dapat menyebabkan timbulnya gejala disorientasi  kultural,  yakni lapisan     dalam  kebudayaan TLsebagai “ethico-mythical nucleus” yang merupakan  central point of reference, telah mengalami kematian, seperti: moral, peradaban, etika. Dalam  masyarakat luas telah terjadi  penyimpang etika dan moral yang serius, mulai dari rumah tangga sampai kantor pemerintah, partai politik, lembaga sosial, kecenderungan mudah terjadi tindakan balas dendam. Demikian pula halnya di sekolah sebagai lembaga penanaman nilai dan iman telah mengalamai  anomali.

Dalam arus kuat   perubahan saat ini kita dihadapkan dengan beberapa pertanyaan yang substansial, sanggupkah kita merevitalisasi  jati diri kebudayaan TL? Ataukah dibiarkan begitu merana? Masihkah  moral bangsa kita mempunyai fungsi dan berperan sebagai “ benteng”  terhadap perubahan yang keliru?

Advertisement

 Paradigma Perubahan

TL tengah mengalami paradigma perubahan dalam rangka membangun TL baru, di atas komitmen religius dan humanis, keadilan,  etika, demokrasi, HAM, setidak-tidaknya itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh semua elemen masyarakat. Pertanyaannya, akankah   paradigma perubahan    sekaligus membawa pergeseran nilai budaya pada warga bangsa TL? Jawabannya dilematis.

Perubahan  tidak berarti ada mall,  ada jalan toll, banyak hotel berbintang, mahasiswa menenteng hand phone baru, ada baju dan sepatu baru, jalan diaspal, banyak koruptor di tangkap, banyak kendaraan mewah berseliweran di jalan. Namun perubahan itu bisa juga diterjemahkan lain yakni seluruh sistem budaya mengalami kematian alias mandeg.

Kita boleh membangun mall, hotel mewah,  jalan toll, namun sedikit diantara kita yang  merasa prihatin dengan kemiskinan, stunting, kelaparan, ketidakadilan, kekerasan dalam rumah tangga, seks bebas, ini sama  hal dengan kematian  alias mandeg alias tidak maju. Atau lebih berdosa lagi, pemerintah dengan gigih menyusun program anggaran pembangunan demi  melegitimasi kebudayaan, tapi mutu kebudayaan tetap merosot, dengan kata lain menyusun program demi melegitimasi kebudayaan, tapi tetap tidak memelihara, sama dengan tidak maju alias mandeg. 

Kendati TL sadar bahwa anggaran pembangunan yang diterima dibiayai dari pinjaman luar negeri (hutang) yang pada akhirnya secara langsung  atau tidak, terarah pada penciptaan dan pengekalan ketergantungan (dependecy of perpetuate). Manifestasi  dari kondisi seperti ini  pembangunan cenderung tidak  menjamah kepentingan kebudayaan dan bahkan menciptakan core area  dan peripheral area di masing-masing daerah, serta tidak mendidik bangsa sendiri untuk mandiri.

Advertisement

Menurut hemat penulis, sadar atau tidak sebagai dampak pembangunan, di TL saat ini telah terpisah menjadi tiga komunitas kasta baru (new caste community) yang berbeda tajam. Komunitas pertama adalah core society atau kasta inti (core caste) dengan ciri-ciri: stabil/kuat ekonominya, terjamin masa depannya, memiliki akses kekuasaan cukup tinggi. Mareka yang masuk dalam kasta ini sebut saja  komunitas sisa-sisa feodal (pejabat negara) dan mereka tetap haus akan kekuasaan, wanita, dan harta. Makanannya kebanyakan dari produk kapitalis.

Kedua, middle society atau kasta setengah pinggiran (semi peripheral  caste) yakni, lahir dari masyarakat campuran antara sisa-sia feodal dan masyarakat idealis, dengan ciri-ciri   menggantungkan diri pada idealisme,  masyarakat rasional, mereka tidak membutuhkan penghargaan yang tinggi. Yang termasuk dalam kasta ini adalah para cendekiawan, kaum profesional, seniman, budayawan, rohaniawan, wartawan, penulis, jauh dari kekuasaan atau pengaruh, kesadaran politiknya tinggi, akses ke masyarakat cukup tinggi. Komunitas ini adalah  orang-orang yang “berumah di atas angin“,    tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.

Ketiga, peripheral society atau kasta pinggiran (peripheral caste), yakni tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor ke sektor lain, cepat berpindah pekerjaan, tidak mempunyai idealisme, hidupnya sederhana, berani hidup sengsara, kehidupannya berlangsung dari tangan ke mulut, makanannya  dari produk lima jarinya. Namun mempunyai andil besar terhadap politik dan kekuasaan (contohnya pada waktu pemilihan umum). Komunitas ini kita namakan saja    “masyarakat  apung”. Mereka adalah kelompok yang besar jumlahnya.  Mereka ini sebenarnya adalah sasaran pembangunan. Sebagian dalam komunitas ini adalah petani yang menyiapkan makanan bagi negara atau bagi para pejabat di negeri ini. Namun mereka tidak pernah diperhatikan oleh negara. Tidak mendapat subsidi sedikitpun. Mereka mempunyai tanggungjawab besar terhadap bangsa dan negara TL. 

Pengaruh beasmtaat

Pola interaksi ketiga tipologi komunitas  di atas dikendalikan oleh kekuasaan atau kekuatan oligarki (invisibel hand) yang melegitimasi kekuasaan itu. Dengan demikian kesenjangan budaya semakin menampakkan cirinya yang sangat  tajam  pada tiga komunitas yang telah disebutkan di atas.

Dualisme budaya yang secara faktual berhimpit dengan kesenjangan budaya, ternyata menimbulkan gesekan-gesekan,  justeru karena masih kuatnya pengaruh beasmtaat pada core society.  Kecenderungan hidup kapitalistik pada core society, melahirkan tirani kekuasaan, dan menempatkan kekayaan atau kesewenangan sebagai tujuan prilaku dan faktor penentu untuk mengukur seseorang dan kedudukan sosialnya dalam masyarakat.

Advertisement

Gejala ini sekaligus menandai jati diri kebudayaan TL sudah mati, di mana manusia mulai melemah dan mempertahankan transendensinya terhadap kekuasaan dan uang. Dilihat dari perkembangan budaya bukankah gejala-gejala tersebut bertentangan dengan nilai-nilai religius dan humanis?

Dewasa ini banyak aspek penting dari kebudayaan TL mengalami degradasi, karena berbagai faktor, terutama menyangkut nilai, tujuan, latar belakang dan sifat dasar penampilannya. Misalnya dalam kehidupan kebudayaan. Kebudayaan menjadi kehilangan imanennya yang justeru mendewasakan manusia TL dalam bergaul. Kebudayaan mulai menampakkan dirinya sekadar slogan murni, pada akhirnya kebudayaan akan menjadi transenden dalam kehidupan kita, serta spritualitas kebudayaan akan bermakna utopis. Pergeseran nilai dan fungsi pada akhirnya akan ditolak atau dihindari. Namun pembangunan yang mengabaikan dimensi etis kebudayaan secara utuh yang telah mampu menghidupkan orang TL maka terjadilah cultural counter movement  oleh masyarakat pendukung kebudayaan itu ke arah revivalisme budaya lokal.

Kita Akarkan

Pertanyaan yang paling mendasar menuju masyarakat TL baru,  dari serangkaian fenomena di atas adalah bentuk budaya yang bagaimana masyarakat TL baru itu akan kita akarkan, karena pengakaran budaya baru itu akan menandai jati diri dan ketahanan budaya TL masa depan. Karena itulah masalah ini sangat kritis dan perlu sikap kehati-hatian. Pada hematnya jati diri kebudayaan TL, harus ditumbuhkembangkan di atas nilai-nilai moralitas kebudayaan TL, yang diaktualisasikan dengan perkembangan zaman. Ini tidak lain mengisyaratkan agar pembinaan kebudayaan sebagai proses yang berlanjut memang harus secara sadar dan penuh kesadaran dikerjakan.

Sebab masyarakat TL baru itu haruslah hasil “ciptaan” budaya TL sedangkan dikerjakannya harus dengan penuh kesadaran, artinya tidak bisa dipaksakan, melainkan disesuaikan dengan derap perkembangan masyarakat itu sendiri.

Advertisement

Dalam kaitannya dengan hal ini tidaklah dapat diingkari bahwa modernisasi telah menumbuhkan momentum perubahan dan pergeseran masyarakat ke arah masyarakat TL baru itu.

Adanya modernisasi telah membuka cakrawala yang lebih lebar lagi atas pilihan-pilihan yang bisa diambil terhadap hampir semua hal.

Memilih inilah yang telah ikut mengambil bahagian dalam meningkatkan rasionalitas masyarakat TL, sebab masyarakat TL telah dihadapkan pada alternatif pilihan yang semakin kompleks yang tidak hanya ini atau itu saja.

Dalam menyongsong terbentuknya masyarakat TL yang  sangat rasional itu maka sudahlah sewajarnya apabila kita pertanyakan: apakah kemampuan rasional yang semakin tinggi akan berakibat menipisnya kemampuan emosional kebudayaan yang menjadi penopang hidup kita?

Pada hematnya pembinaan kemampuan emosional kebudayaan untuk menumbuhkan kebudayaan harus ditempuh melalui lembaga keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga media (cetak dan elektronik) dan jangan dibiarkan menentukan  arahnya sendiri. Pendidikan budaya yang dilaksanakan secara sadar itu diperlukan untuk menahan dampak negatif dari arus modenisasi. Bahkan kebudayaan diungkap pula dalam bentuk proteksionisme yang pada dasarnya mengandung unsur survival bangsa, namun  kalau tidak terkendali akan menumbuhkan chauvinisme yang sangat berlebihan.

Advertisement

Sehingga apabila di Barat terjadi gerakan kembali ke arah keagamaan yang awalnya dipacu oleh kepahaman harkat manusia, maka di TL hal itu tidak akan dirasakan karena suasana keagamaan nampak jelas tetap menjadi landasan pada semua stratum kehidupan.

Sejalan dengan hal itu, kita merasa yakin bahwa jati diri kebudayaan kita mendatang akan tetap nampak jelas walaupun dengan kadar rasionalitas yang tinggi, melalui upaya-upaya pembinaan kebudayaan yang terencana.

Dengan demikian maka  kebudayaan kita saat ini maupun masa depan harus dibangun di atas komitmen nilai-nilai imanen kebudayaan TL, penciptaan masyarakat mandiri (civil society), demokrasi, penanaman kesadaran tentang perlunya iptek yang humanis dan ramah terhadap lingkungan budaya, pengembangan etos kerja. Pokoknya membangun ketahanan budaya TL secara arif dan kreatif serta menempatkan martabat manusia sebagai rohnya, maka mustahil  kebudayan kita akan mati.

Pada hematnya pembinaan kemampuan emosional untuk menumbuhkan kebudayaan baru tadi secara terus menerus ditempuh melalui keluarga, pendidikan di sekolah, lembaga politik, lembaga pers, lembaga keagamaan, dan seterusnya dan  jangan dibiarkan menentukan arahnya sendiri. Pembentukan melalui lembaga tadi harus dilaksanakan secara sadar  dan terus menerus  untuk menahan dampak negatif dari pengaruh kebudayaan Barat. Maka ketahanan budaya dan jati diri kebudayaan kita   akan menjadi kuat dan tak terkoyak oleh kontamininasi budaya Barat.

 

Advertisement

 

 

 

Advertisement
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opiniaun

Diskursu Primeiru-Ministru Kay Rala Xanana Gusmão nian iha Okaziaun Aprezentasaun Proposta Lei Orsamentu Jerál Estadu ba 2026

Published

on

By

Parlamento Nacional, Díli 5 Novembro 2025

Suas Excelências

Senhora Presidente Parlamento Nacional       

Vice-Presidentes Parlamento Nacional

Advertisement

Ilustres

Senhoras no Senhores Deputados

Senhoras no Senhores Membros Governo

Senhoras no senhores,

(more…)

Advertisement

Continue Reading

Opiniaun

Sai Lian ASEAN nian: To’o Ona Tempu Mídia Nasionál Sira Ko’alia Timor-Leste Nia Kompromisu

Published

on

By

Hosi: Renato ”Apaa Sege’ da Costa

(more…)

Continue Reading

Opiniaun

Esteitmentu husi Institutu La’o Hamutuk Kona-ba Adezaun Timor-Leste ba Membru Plenu ASEAN Ba Dala-11

Published

on

By

Introdusaun

Simeira ASEAN ba dala 46 liu ba iha Kuala Lumpur, Primeiru Ministru Malázia deklara ba públiku katak, Timor-Leste nia adezaun ba ASEAN (full member) sei ofisializa iha Simeira ASEAN ba dala 47 iha fulan Outubru 2025. Tuir mai, Governu da sia organiza grupu traballu inter-ministerial nu’udar responsavel ba implementasaun rekomendasaun ne’ebé deside iha Simeira ASEAN 46 iha Malázia. Ekipa traballu ne’e enkontru no diskute halo ajustamentu ba lei no polítika balun tuir matadalan (roadmap) ne’ebé simu husi ASEAN. Governu komprimidu katak, antes Simeira iha fulan Outubru, preparasaun intermus polítika, lei balun, teknikamente no institusionalmente finaliza ona, liuliu akordu ekonomia prinsipál sira. Ambisaun boot ne’e ignora realidade katak Timor-Leste iha kapasidade ki’ik de’it atu prodús sasán ne’ebé bele fa’an iha ekonomia formál (ekonomia ne’ebé uza osan). Bainhira Timor-Leste adere ba ASEAN, bele redús soberania estadu atu proteje povu Timor-Leste husi dominasaun ekonómiku ASEAN.

(more…)

Continue Reading

Trending