Connect with us

Liquiça

Pelatihan Jurnalisme Lingkungan di Likisa, Dorong Pers “Selamatkan Planet Bumi Kita”

Published

on

Hatutan.com, (10 Desember 2024), Likisa–Dewan Pers Timor Leste atau Conselho de Imprensa (CI) de Timor-Leste mengadakan pelatihan jurnalistik bertema “Enviromental Journalism: Save Our Planet Earth” untuk mengajak jurnalis Timor Leste berkontribusi melakukan peliputan yang bermanfaat atas isu-isu lingkungan dan perubahan iklim.

Harapannya dari pelatihan yang mengangkat tema “Enviromental Journalism: Save Our Planet Earth” bertujuan mengajak  para jurnalis Timor Leste dapat memahami strategi dalam menjaga lingkungan hidup dan mengatasi isu lingkungan serta perubahan iklim.

Sesi foto bersama peserta pelatihan jurnalis lingkungan di Likisa. Foto/Istimewa

Pelatihan ini didanai oleh Kedutaan Besar Jepang di Timor- Leste melalui UNDP. Otelio Ote, Ketua Dewan Pers Timor Leste menjelaskan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk mendorong pers agar lebih peduli terhadap isu-isu lingkungan dan memiliki kemampuan jurnalistik yang bertanggung jawab serta berdampak.

“Kami berharap mereka dapat menjadi pengubah karakter bagi masyarakat kita untuk mengetahui bahwa permasalahan lingkungan sangat penting untuk kita jaga karena terkait dengan kehidupan setiap orang,” kata Otelio Oté.

Advertisement

Duta Besar Jepang untuk Timor Leste, Tetsuva Kimura mengaku senang bisa berpartisipasi dalam pembukaan pelatihan Jurnalisme Lingkungan bagi jurnalis yang diselenggarakan oleh Dewan Pers Timor Leste.

Dia mengatakan jurnalisme adalah jantung demokrasi. Melalui media, masyarakat mendapat informasi, perdebatan dirangsang, dan tanggung jawab demokratis ditegakkan. Dalam hal ini, Pemerintah Jepang telah menyadari pentingnya memperkuat pers dan telah lama mendukung perkembangan pers dan jurnalisme di Timor-Leste.

“Kepada para jurnalis yang berkumpul di sini hari ini, saya berharap anda dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memperluas pengetahuan anda, memperluas jaringan profesional anda, dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghasilkan jurnalisme yang berkualitas, karena anda adalah arsitek atau perancang wacana publik dan demokrasi,” ujar Duta Besar Jepang Tetsuva Kimura

Sementara perwakilan UNDP Muhammad Jaffar mengapresiasi kerja sama dengan mitra untuk melaksanakan kegiatan pelatihan jurnalisme lingkungan dan berharap melalui pelatihan ini para jurnalis dapat meningkatkan kapasitasnya terhadap lingkungan.

Para peserta yang berjumblah 30 orang merupakan jurnalis dari berbagai media di Timor Leste ini diharapkan tidak hanya sekadar memahami jurnalisme lingkungan tetapi juga mampu menghasilkan karya jurnalistik yang kreatif, akurat, dan menarik bagi publik berdasarkan tema pelatihan “Selamatkan Planet Bumi Kita”.

Advertisement

Pelatihan yang akan  berlangsung selama tiga hari di Kota Madya Likisa, Senin-Rabu (09-11/12/2024), dengan materi tentang Pengantar Jurnalisme Lingkungan Hidup/Perubahan Iklim disampaikan oleh Untung Widyanto, jurnalis lepas, pengajar jurnalisme lingkungan asal Indonesia, yang menyoroti tentang;

  • Pengertian Jurnaliusme Lingkungan
  • Konsep Dasar Jurnalisme Lingkungan
  • Prinsip Etika dalam Jurnalisme Lingkungan
  • Isu-Isu yang Diliput—Realitas Lingkungan
  • Peran Jurnalisme Lingkungan/Iklim

Untung Widyanto, jurnalis lepas, pengajar jurnalisme lingkungan asal Indonesia memberi pelatihan jurnalis lingkungan. Foto/Alberico da Costa Junior

Untung Widyanto, mantan wartawan TEMPO Indonesia juga penulis buku “Membangun Peradaban Dunia-Samburat Asa Dalam Revitalisasi Taman Ismail Marjuki Jakarta“ juga  memberikan wawasan mendalam tentang cara mengolah dan melakukan investigasi jurnalisme lingkungan untuk menghasilkan liputan yang mendalam dan kredibel dengan materi tentang Peliputan Mendalam dan Investigasi Isu Lingkungan.

Materi Krisis Iklim yang disampaikan  Untung Widyanto menunjukan bahwa dampak perubahan iklim berkisar dari kematian akibat bencana terkait cuaca (yang jumlahnya meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir) hingga 21,5 juta orang yang mengungsi akibat bencana terkait perubahan iklim setiap tahun[1]. Ini juga berarti banjir, kekeringan, dan badai yang lebih ekstrem dan lebih sering terjadi, yang tidak hanya berarti kerugian manusia yang besar, tetapi juga kerugian lingkungan dan finansial yang besar.

Sebuah laporan tahun 2021 dari Swiss Re, salah satu penyedia asuransi terbesar bagi perusahaan asuransi lainnya, mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat memangkas nilai ekonomi dunia hingga $23 triliun pada tahun 2050 – dengan negara-negara maju seperti AS, Kanada, dan Prancis kehilangan antara enam hingga sepuluh persen dari potensi hasil ekonomi mereka. Bagi negara-negara berkembang, dampak perubahan iklim bahkan lebih mengerikan, dengan Malaysia dan Thailand, misalnya, keduanya mengalami pertumbuhan ekonomi 20 persen di bawah yang diharapkan pada tahun 2050.

PBB menyebut triple planetary crises yang menentukan masa depan kehidupan yang baik dan sehat di Bumi. Krisis tiga planet mengacu pada tiga isu utama yang saling terkait yang saat ini dihadapi manusia: perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversitas). Setiap isu ini memiliki penyebab dan dampaknya sendiri dan setiap isu perlu diselesaikan jika kita ingin memiliki masa depan yang layak di planet ini.

Risiko Iklim Timor-Leste

Advertisement

Pelatihan Jurnalisme Lingkungan di Likisa. Foto/Istimewa

Bank Dunia dan Asian Development Bank membuat studi dengan tajuk Profil Negara Risiko Iklim Timor-Leste yang diterbitkan pada 2021. Di dalamnya ada ringkasan hasil riset tentang risiko iklim yang dihadapi Timor-Leste yang mencakup perubahan cepat dan jangka panjang dalam parameter iklim utama, dampak perubahan  terhadap masyarakat, mata pencaharian, dan ekonomi yang telah dan akan terjadi. (Mengacu pada Climate Risk Country Profil Timor-Leste, World Bank Group and Asian Development Bank, 2021 dan Biodoversity and Climate Change, Workshop report IPBES-IPCC, 2020)

Berdasarkan kombinasi faktor politik, geografis, dan sosial, Timor-Leste dikenal sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan menduduki peringkat ke-113 dari 182 negara dalam Indeks ND-GAIN 2020. Indeks ND-GAIN memeringkat 181 negara yang menggunakan skor yang menghitung kerentanan suatu negara terhadap perubahan iklim dan tantangan global lainnya serta kesiapan mereka untuk meningkatkan ketahanan. 

Iklim tropis Timor-Leste sangat dipengaruhi oleh Monsun Pasifik Barat dan iklim pegunungannya. Musim hujan berlangsung antara Desember dan Mei dan musim kemarau antara Juni dan November, dengan wilayah selatan negara tersebut mengalami musim hujan yang lebih panjang, yaitu tujuh hingga sembilan bulan. Curah hujan bervariasi di seluruh negeri, dengan wilayah utara menerima curah hujan lebih sedikit daripada wilayah selatan.

Seperti banyak negara lain dengan iklim tropis, hanya ada sedikit variasi suhu musiman. Iklim Timor-Leste sangat dipengaruhi oleh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan dapat mengubah tingkat dan waktu curah hujan antar-tahunan hingga 50%.

Studi Bank Dunia dan ADB merekam perbedaan spasial suhu dan curah hujan historis yang diamati di Timor Leste pada 1991 hingga 2020. Pacific-Australia Climate Change Science Adaptation Planning (PACCSAP) memperkirakan bahwa suhu di Timor-Leste kemungkinan meningkat sejalan dengan tren regional dan global, berdasarkan tren pemanasan laut yang tercatat di seluruh negeri. USAID, memperkirakan kenaikan suhu sebesar 0,16°C per dekade sejak 1950. Pemanasan tampaknya telah meningkat sejak sekitar tahun 1980. Suhu permukaan udara rata-rata tahunan di Timor-Leste diproyeksikan meningkat sekitar 3,1°C pada tahun 2090-an dan peningkatan kejadian curah hujan ekstrem.

Perubahan iklim tersebut membawa dampak pada risiko bencana yang tinggi. Timor Leste  menduduki peringkat 66 dari 191 negara menurut Indeks Risiko Inform 2019. Siklon tropis merupakan salah satu risiko bencana alam terkait iklim yang paling banyak dialami Timor-Leste, peringkat ke-43 negara yang berisiko, sementara untuk banjir dan kekeringan Timor-Leste berada pada peringkat risiko yang relatif rendah (masing-masing peringkat ke-152 dan ke-130). Peringkat Timor-Leste di sepertiga teratas negara-negara berisiko sebagian besar disebabkan oleh kurangnya kapasitas penanganan mengatasi masalah dan tingkat kerentanan sosial penduduknya, yang keduanya dinilai lebih rendah daripada sebagian besar negara di kawasan tersebut.

Advertisement

Selama periode dasar 1986–2005, suhu maksimum secara teratur melampaui 30°C di Timor-Leste. Fasilitas Global untuk Pengurangan Bencana dan Pemulihan (GFFDRR) mengkategorikan bahaya panas ekstrem Timor-Leste sebagai ‘sedang’, yang berarti negara tersebut akan mengalami setidaknya satu periode paparan panas ekstrem dalam jangka panjang dalam lima tahun ke depan, yang mengakibatkan tekanan panas. Program Adaptasi Nasional Aksi Perubahan Iklim Timor-Leste dan profil risiko iklim USAID untuk Timor Leste menggambarkan bagaimana negara tersebut diramalkan akan mengalami peningkatan intensitas dan durasi gelombang panas pada tahun 2050.

Untung Widyanto, jurnalis lepas, pengajar jurnalisme lingkungan asal Indonesia memberi pelatihan jurnalis lingkungan. Foto/Alberico da Costa Junior

Dua jenis kekeringan utama dapat memengaruhi Timor-Leste, yaitu kekeringan meteorologis (biasanya terkait dengan defisit curah hujan) dan kekeringan hidrologis (biasanya terkait dengan defisit aliran air permukaan dan bawah permukaan, yang berpotensi berasal dari daerah aliran sungai yang lebih luas di wilayah tersebut).

Kemungkinan kekeringan parah diproyeksikan akan meningkat sekitar dua kali lipat dari probabilitas tahunan 5% menjadi 12% dari tahun 2040-an hingga 2090-an.  Kekeringan dapat meningkat frekuensi dan intensitasnya mengingat hubungan antara kekeringan yang parah dengan peristiwa El Niño, yang diperkirakan akan meningkat frekuensi dan intensitasnya akibat pemanasan suhu global.

Timor-Leste rentan terhadap banjir sungai, pesisir, dan banjir permukaan. Kerugian dari kerusakan akibat banjir tahunan di perkotaan diperkirakan mencapai $1,4 juta. Pembangunan dan perubahan iklim kemungkinan akan meningkatkan angka-angka ini.  Tahun-tahun La Nina membawa curah hujan yang lebih besar dan peningkatan banjir, seperti pada tahun 2010/2011.  Timor-Leste mengalami banjir yang lebih parah, terutama pada bulan Maret 2020 dan April 2021. Hujan lebat selama beberapa hari yang disebabkan oleh badai tropis Seroja menyebabkan banjir parah dan tanah longsor yang berdampak buruk pada lebih dari 25.000 rumah tangga.

Perubahan iklim diperkirakan akan berdampak negatif pada pengelolaan air di Timor-Leste. Peningkatan intensitas dan variabilitas curah hujan yang diproyeksikan, ditambah dengan kenaikan permukaan air laut, kemungkinan akan memberikan tekanan pada sumber daya air tanah dan permukaan, melalui peningkatan risiko banjir dan kekeringan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pasifik Barat telah mengalami tingkat kenaikan muka air laut. Rata-rata permukaan laut di Timor-Leste diproyeksikan akan naik sepanjang abad ke-21. Pada tahun 2030, model CMIP5 memproyeksikan kenaikan serupa di bawah semua jalur emisi RCP sekitar 80–180 mm. Pada tahun 2090, kenaikan permukaan laut diproyeksikan dalam kisaran 430–880 mm. Jika dikombinasikan dengan perubahan lain, kenaikan permukaan laut ini akan meningkatkan dampak gelombang badai dan banjir pesisir.

Advertisement

Ibu kota, Dili, sangat rentan terhadap banjir pesisir, terletak hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Dengan investasi dalam adaptasi yang efektif, termasuk penyeimbangan antara pendekatan infrastruktur keras (misalnya tanggul dan dinding laut) dan pendekatan berbasis alam (misalnya pemulihan habitat), dampak banjir pesisir ini  dapat dikurangi secara signifikan.

Tren menunjukkan pengasaman laut di perairan Timor-Leste telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir yang berdampak pada kesehatan ekosistem terumbu karang di samping tekanan lain termasuk kerusakan akibat badai, pemutihan karang, dan tekanan penangkapan ikan.

Sektor pertanian di Timor-Leste tidak menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, akibat tanah yang buruk, varietas lokal yang kurang produktif, curah hujan yang sangat bervariasi, lereng yang curam, dan beban gulma yang tinggi. Penduduk sangat bergantung pada pertanian, dengan 66% keluarga mengandalkan beberapa bentuk kegiatan pertanian untuk mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, Timor-Leste sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim terhadap pertanian.

Peningkatan suhu kemungkinan akan memengaruhi hasil panen kopi, tanaman komersial yang penting. Dengan topografi yang curam dan iklim yang bervariasi menurut ketinggian, perubahan iklim kemungkinan akan mendorong pergeseran rentang di area tanam yang sesuai untuk berbagai tanaman. Secara umum, ini berarti pergerakan ke arah lereng atas tanaman utama seperti jagung.

Sektor perikanan di Timor-Leste kecil dan kurang berkembang dibandingkan di banyak negara tetangga, tetapi memiliki potensi untuk berkembang menjadi sumber pendapatan penting dan memperkuat ketahanan pangan. Studi terbatas tentang dampak iklim masa depan pada perikanan lokal yang tersedia menunjukkan bahwa prospek perikanan dekat pantai negatif, dan rencana harus dibuat untuk potensi penurunan hasil sebesar 5%–10% pada tahun 2050.

Advertisement

Pemodelan ekonomi tentang dampak skenario adaptasi pada perikanan Timor-Leste memperkirakan total produksi ikan dapat ditingkatkan sedikit pada tahun 2035 dan 2050 tetapi pada tahun 2050, pasokan ikan dari ekosistem laut dan pesisir akan mengalami penurunan bersih sebagai akibat dari perubahan iklim.48 Hal ini memiliki implikasi ketahanan pangan bagi negara tersebut mengingat 94% konsumsi ikan domestiknya berasal dari ekosistem laut dan pesisir, bukan ekosistem air tawarnya

Selama periode 2001–2011, ada 20 ribu orang terkena dampak dan 10 ribu  rumah rusak akibat bencana. Timor-Leste rentan terhadap variabilitas curah hujan yang tinggi, yang diperparah oleh peristiwa El Nino dan La Nina. Variabilitas ini dapat menyebabkan banjir, tanah longsor, badai dan kekeringan.

Meskipun Timor-Leste telah membuat kemajuan yang cukup besar dalam pembangunan dalam dua dekade terakhir, namun tingkat kemiskinan yang tinggi, yang mana perubahan iklim mengancam bakal makin  memperburuk.  Secara khusus, perubahan iklim mengancam ketahanan pangan, yang mana masyarakat miskin pedesaan adalah yang paling rentan.  Beberapa akademisi berpendapat bahwa program adaptasi yang dipimpin oleh Lembaga donor terlalu berfokus pada komponen biofisik dari kerentanan dan bukan pada sistem sosial-ekonomi dan politik yang mendasari kerentanan Timor-Leste terhadap perubahan iklim.

Penelitian juga memberikan lebih banyak bukti bahwa dampaknya tidak netral gender, karena perempuan dan anak-anak termasuk kelompok berisiko tertinggi. Faktor-faktor utama yang menjelaskan perbedaan antara kerentanan perempuan dan laki-laki terhadap risiko perubahan iklim meliputi: perbedaan berbasis gender dalam penggunaan waktu; akses ke aset dan kredit, perlakuan oleh lembaga formal, yang dapat membatasi peluang perempuan, akses terbatas ke diskusi kebijakan dan pengambilan keputusan, dan kurangnya data yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin untuk perubahan kebijakan.

Timor-Leste menyimpan keanekaragaman hayati yang unik dan melimpah. Dampak utama perubahan iklim terhadap satwa liar adalah menggeser rentang geografis tempat kondisi iklim cocok untuk kelangsungan hidup spesies. Secara umum, pergeseran diperkirakan terjadi di lereng atas ke ketinggian yang lebih tinggi, atau menjauh dari ekuator.

Advertisement

Di pulau-pulau, tekanan untuk menggeser rentang  geografis merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup banyak spesies karena habitat alternatif yang sesuai mungkin tidak tersedia atau tidak dapat diakses oleh spesies yang dimaksud. Untuk beberapa spesies mungkin ada ambang batas, di mana perubahan iklim dengan intensitas yang lebih rendah dapat ditoleransi, tetapi perubahan yang lebih intens melampaui tingkat tertentu mengakibatkan hilangnya atau bahkan kepunahan.

Misalnya, hutan bakau di Timor-Leste diyakini memiliki toleransi terhadap kenaikan kecil di permukaan laut (3–18 cm) tetapi sangat berisiko terhadap kenaikan yang lebih besar. Penelitian tentang kerentanan spesies di Timor-Leste secara umum  masih kurang. Namun, penelitian di pulau-pulau lain di wilayah tersebut menunjukkan bahwa spesies pohon dan kadal dapat terancam akibat pergeseran rentang geografis.

Dua Konvensi: Iklim (UNFCCC) dan Biodiversitas (UNCBD)

Krisis iklim dan biodiversitas saling berhubungan erat. Banyak penelitian yang menemukan adanya saling terkait dua topik tersebut. Akan tetapi, dalam kebijakan di level global dan nasional, keduanya ditangani sendiri-sendiri.  Keduanya memiliki Komunitas dan konvensi internasionalnya: Konvensi Kerangka Kerja PBB Perubahan Iklim  (UNFCCC) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (UNCBD). Keduanya juga memiliki badan antar pemerintah yang menilai pengetahuan yang tersedia yaitu Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Platform Antar Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem (IPBES).

Pemisahan fungsional ini menimbulkan risiko tidak lengkapnya identifikasi, pemahaman dan penanganan hubungan di antara keduanya. Dalam kasus terburuk, hal ini dapat menyebabkan pengambilan tindakan yang secara tidak sengaja mencegah penyelesaian salah satu masalah, atau kedua masalah tersebut.

Advertisement

Sudah menjadi sifat  sistem yang kompleks bahwa sistem tersebut memiliki hasil dan ambang batas yang tidak terduga, tetapi juga bahwa masing-masing bagian tidak dapat dikelola secara terpisah satu sama lain.  Pada 14-17 Desember 2020 berlangsung lokakarya bersama IPBES-IPCC untuk mengeksplorasi hubungan yang kompleks dan beragam antara iklim dan keanekaragaman hayati.

Komunitas ilmiah telah bekerja selama beberapa waktu untuk mencari tahu tentang sinergi dan pertukaran antara iklim dan keanekaragaman hayati. Contoh sinergi termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi biodiversitas yang secara bersamaan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim; atau tindakan yang meningkatkan kapasitas spesies atau ekosistem untuk beradaptasi dengan perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.

Sebaliknya, pertukaran negatif dapat terjadi, misalnya, jika suatu tindakan yang diambil untuk memitigasi perubahan iklim dengan menggunakan lahan atau lautan untuk menyerap gas rumah kaca mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati atau pasokan manfaat lain yang terkait dengan alam yang mengalir dari ekosistem yang terkena dampak.

Hanya dengan mempertimbangkan iklim dan keanekaragaman hayati sebagai bagian dari masalah kompleks yang sama, yang juga mencakup tindakan, motivasi, dan aspirasi masyarakat, akan dicapai solusi yang dapat dikembangkan untuk menghindari maladaptasi dan memaksimalkan hasil yang menguntungkan. Mencari solusi semacam itu penting jika masyarakat ingin melindungi hasil pembangunan dan mempercepat langkah menuju dunia yang lebih berkelanjutan, sehat, dan adil bagi semua. Peran sains dalam menangani pandemi Covid 19 menggambarkan bagaimana sains dapat menginformasikan kebijakan dan masyarakat untuk mengidentifikasi solusi yang memungkinkan.

Menghubungkan bidang iklim dan keanekaragaman hayati menjadi sangat penting pada saat ini, ketika dunia tampaknya bersiap untuk melakukan tindakan yang lebih kuat pada keduanya. Tindakan yang mendesak, tepat waktu, dan tepat sasaran dapat meminimalkan tren yang merugikan dan menangkal risiko yang meningkat serta menghindari kesalahan yang menguras biaya dan tenaga.

Advertisement

Laporan lokakarya ini ditempatkan dalam konteks perjanjian internasional terkini termasuk Perjanjian Paris (hasil COP 2015), Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati 2011-2020 dan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca 2020, Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan yang menyatukan penyelesaian dua krisis, yaitu perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang sangat penting untuk mendukung kesejahteraan manusia.

Secara bersamaan, pencapaian kesepakatan-kesepakatan tersebut bergantung pada upaya-upaya yang segera dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan yang transformatif. Perubahan yang mencakup kebijakan teknologi dan lingkungan serta perubahan struktur ekonomi dan pergeseran besar dalam masyarakat.

Dampak perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan dua tantangan dan risiko yang paling penting bagi masyarakat manusia; pada saat yang sama, iklim dan keanekaragaman hayati saling terkait melalui proses mekanistik. Perubahan iklim memperburuk risiko terhadap keanekaragaman hayati dan habitat alami dan habitat yang dikelola; pada saat yang sama, ekosistem alami dan habitat yang dikelola serta keanekaragaman hayatinya memainkan peran penting dalam fluks gas rumah kaca, serta dalam mendukung adaptasi iklim.

Penyerapan lebih dari 50% emisi CO2 melalui fotosintesis dan penyimpanan karbon dalam biomassa dan bahan organik, serta melalui pelarutan CO2 dalam air laut, telah mengurangi perubahan iklim global secara alami (namun menyebabkan pengasaman laut).

Namun, kontribusi alam dalam mengurangi perubahan iklim, yang sebagian disediakan oleh keanekaragaman hayati yang menopangnya, terancam oleh degradasi ekosistem yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang semakin parah dan aktivitas manusia.

Advertisement

Faktanya, degradasi ekosistem melalui perubahan tata guna lahan dan dampak lainnya terhadap cadangan dan penyerapan karbon alami merupakan kontributor utama terhadap emisi CO2 kumulatif, dan oleh karena itu, menjadi pendorong tambahan perubahan iklim. Implementasi ambisius dari tindakan berbasis daratan dan lautan untuk melindungi, mengelola dan memulihkan ekosistem secara berkelanjutan memiliki manfaat tambahan untuk mitigasi iklim.

Peran Jurnalis Lingkungan: Transdisipliner

Dalam pemaparannya, Untung Widyanto  menerangkan bahwa jurnalis memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi isu perubahan iklim/krisis iklim dan merosotnya keanekaragaman hayati. Keduanya saling terkait, juga dengan bidang lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu, wartawan mesti menggunakan pendekatan transdisipliner yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu untuk memberikan laporan yang lebih komprehensif dan mendalam.

Pendekatan ini memungkinkan jurnalis untuk memahami dan menyampaikan informasi dari berbagai perspektif, yang membantu pembaca mendapatkan gambaran yang lebih lengkap. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, seperti  kolaborasi antar disiplin. Jurnalis  bekerja sama dengan ilmuwan, ekonom, sosiolog, dan ahli lainnya untuk mendapatkan informasi dan analisis yang mendalam. Misalnya, dalam melaporkan isu perubahan iklim, jurnalis dapat berkolaborasi dengan klimatolog, ekonom lingkungan, dan ahli kebijakan.

Berikutnya, jurnalis menggabungkan berbagai perspektif  ilmiah, ekonomi, sosial, budaya, dan politik dalam laporan mereka. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih holistik tentang isu yang dibahas. Dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, laporan jurnalis menjadi lebih kaya informasi dan lebih akurat. Ini membantu pembaca memahami kompleksitas isu dan dampaknya dari berbagai sudut pandang.

Advertisement

Terdapat sejumlah peran yang dapat dimainkan oleh jurnalis terkait isu krisis iklim dan biodivesitas. Pertama, meningkatkan kesadaran publik. Jurnalis melaporkan dampak perubahan iklim dan merosotnya keanekaragaman hayati untuk meningkatkan kesadaran publik dan memperkuat kepedulian masyarakat terhadap isu-isu ini. Menulis berita tentang bagaimana kedua krisis itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan masa depan.

Kedua, mendidik dan memberikan informasi. Menyediakan informasi yang akurat dan komprehensif mengenai penyebab, dampak, dan solusi untuk perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati. Wartawan menggunakan sumber yang kredibel dan data ilmiah untuk memastikan keakuratan laporan.

Ketiga, mengkritisi kebijakan dan praktik.  Membuat laporan mendalam atau investigasi tentang kebijakan pemerintah dan praktik industri yang berdampak negatif pada lingkungan. Termasuk juga mengungkap konflik kepentingan dan praktik yang merusak lingkungan, serta memberikan platform untuk diskusi dan kritik yang konstruktif.

Keempat, jurnalis perlu mendorong tindakan kolektif. Mendorong masyarakat untuk terlibat dalam aksi kolektif dan perubahan perilaku yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, perlu diperbanyak peliputan yang memberitakan contoh-contoh sukses dari komunitas dan individu yang telah berhasil mengatasi masalah lingkungan.

Kelima, memantau dan menyajikan kemajuan. Jurnalis perlu menulis berita tentang kemajuan dan tantangan dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati. Keenam, menyediakan pembaruan berkala tentang perkembangan ilmiah dan teknologi yang relevan.

Advertisement

Ketujuh, jurnalis perlu memberitakan untuk membawa suara yang terpinggirkan. Di sini, adalah berita yang menyoroti pengalaman dan perspektif komunitas yang paling terdampak oleh perubahan iklim dan kerusakan keanekaragaman hayati. Media harus memberikan platform bagi kelompok-kelompok yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi arus utama.

Reporter Magang: Zita Menezes

 

 

 

Advertisement

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Liquiça

Dirijente SNI Na’in-rua ho Karreta Estadu Transporta Sasán Kontra Bandu

Published

on

By

Hatutan.com, (09 Novembru 2025), Liquiça– Dirijente Servisu Nasionál Intelijénsia (SNI) na’in-rua; feto ida no mane ida, uza karreta Estadu tula sasán kontra bandu (fogetes) tama husi Postu Fronteira Motaain, Sábadu kalan (08/11/2025).

(more…)

Continue Reading

Liquiça

Governu Gasta Millaun $3,5 bá Projetu Instalasaun Transformadór 20 MVA iha Liquiça

Published

on

By

Hatutan.com (08 Dezembru 2023), Liquiça—Governu liu-husi Ministériu Obras Públika (MOP) ho Eletrisidade Timor-Leste, Empreza Públika (EDTL,E.P) lansa primeira pedra bá projetu instalasaun transformadór 20 Mega Volt Amper (MVA) iha sub-estasaun Liquiça, hodi nune’e bele aumenta tán enerjia atu fasilita kliente sira ho di’ak liu tán.

(more…)

Continue Reading

Liquiça

Lú Olo Agradese Ba Liquiça-oan Sira

Published

on

Hatutan.com, (12 Abríl 2022), Liquiça– Kandidatu Prezidente Repúblika (PR) segunda volta  ho númeru sorteiu rua (2), Francisco Guterres “Lú Olo”, hato’o agradese ba Liquiça-oan sira tanba iha eleisaun primeira volta, 19 fulan-Marsu liubá, fó ona votu ba nia, hodi konsege hakat to’o iha segunda volta eleisaun prezidensiál ne’e.

(more…)

Continue Reading

Trending